Saturday, March 7, 2015

Jual Anak Karena Utang

Himpitan ekonomi, memang membutakan. Terbukti, salah seorang warga Bontang As (31), rela ‘menjual’ anaknya pada siapa pun yang butuh, agar bisa memperoleh uang tunai Rp 7,2 juta yang akan digunakan membayar keterlambatan cicilan dan menebus jaminan rumah pada salah satu perbankan Kota Taman.

Kasus tersebut diungkapkan Tri, Petugas Outreacher (Penjangkau) LK3, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dissosnaker) Bontang saat menemui pelaku di kediamannya, Selasa (3/3) kemarin.

Keputusan tersebut diakui sangat berat dilakukan. Mengingat kecintaan dirinya atas buah hati yang telah dilahirkan dari rahimnya.

Namun, karena himpitan ekonomi dan sikap tak bertanggung jawab sang suami Ad (50), dia harus merelakan anak terakhirnya pada orang lain yang membutuhkan.

Dengan syarat, harus memberikan uang senilai Rp 7,2 juta agar bisa digunakan membayar utang pada perbankan senilai Rp 6 juta. Sementara Rp 1,2 juta akan digunakan membayar biaya persalinan di rumah sakit.

“Anak As ini ada 4. Pertama kelas 6 SD, kedua kelas 2 SD, ketiga belum sekolah, dan terakhir usia 1,5 bulan. Si bungsulah yang rencananya direlakan,” ungkap Tri.

Kata dia, niat tersebut dilakukan dengan pertimbangan, ketika pun dia berhasil membesarkan anak terakhir yang masih bayi, tentu akan kesulitan membiayai hidupnya. “Apalagi tiap bulan, dia punya pengeluaran rutin, yakni cicilan Rp 2 juta,” ungkap dia.

Dia menceritakan, awal mula belitan utang dialami As, ketika menikah dengan sang suami Ad, 15 tahun lalu. Setelah 10 tahun berjalan, memang tak ada masalah. Kerukunan dan kehidupan rumah tangga itu tetap terjaga. Namun, semua berubah, ketika sang suami memutuskan aktif mengikuti syiar Islam aliran tertentu 5 tahun ke belakang. Namun berdampak pada menelantarkan keluarga.

Bahkan, selama mengikuti kegiatan itu, setiap pulang ke rumah, sang suami hanya meninggalkan uang Rp 30 ribu. Selanjutnya, kembali pergi dalam waktu tak bisa ditebak.

Karena himpitan ekonomi itu, dia memutuskan, meminjam uang dengan nilai puluhan juta ke salah satu perbankan ternama di Bontang. Angsuran per bulan disepakati mencapai Rp 2 juta selama 3 tahun. Sebagai jaminan, As memilih sertifikat rumah milik sang ibu yang juga berdomisili di Kota Taman.

Namun, karena angsuran tidak berjalan lancar, beberapa waktu lalu, dia mendapat peringatan keras dari bank tempatnya mengambil pinjaman. Yang mengancam menyegel rumah tersebut jika tak segera membayar utangnya.

“Dia diancam sama bank. Lalu ibunya, bersedia membantu. Tapi As harus kembali masuk ke agama sebelumnya. Itu yang bikin dia stres,” tuturnya.

Mendengar wacana tersebut, sang suami pun murka. Bahkan menekankan, sikap kembali ke agama sebelumnya adalah hal tercela. Tak ayal, karena perdebatan tak berujung, dia pun dijatuhi talak sang suami. Dengan situasi tersebut, As pun kian tersudut. Sebab, di sisi lain, dia harus menanggung sendiri beban keuangan dari perbankan. Mengingat, rumah yang dijadikan jaminan milik ibundanya.

Namun dia sendiri tak punya uang untuk menebus. Tak heran dia pun tiba pada rencana menyerahkan anaknya dalam asuhan orang lain. Setelah sebelumnya, menyerahkan uang tunai Rp 6 juta agar beban itu terlepas.

“Dari pengakuan itu, kami minta supaya si ibu, tidak melakukan hal itu. Saat ini, LK3 akan mencarikan solusi, agar jalan itu tak perlu ditempuh,” akunya.

Kata Tri, kasus tersebut akan masuk dalam penanganan LK3. Dan melakukan pendampingan dalam menempuh proses perceraian. Terkait anak, kata dia, bisa saja diserahkan pada orang lain.  Namun dengan sistem adopsi yang legal. Serta tak bisa diambil kembali pada kemudian hari. “Nanti dalam proses adopsi itu, akan ada beberapa pihak terlibat. Seperti kepolisian, RT, hingga kelurahan,” tutupnya.
Disqus Comments